Monday 3 August 2015

Pasar Kebayoran Lama

Biasanya aku tidak makan pagi terlalu banyak. Karena berencana hendak pergi hingga sore,  sekalian saja cari makanan yang berat. Masih jam sembilan lewat dua puluh. Warung padang belum ada yang buka. Warteg kurang berasa. Akhirnya pilihan jatuh ke ibu gado-gado samping BCA. Minta dibungkuskan satu. Sebetulnya sudah langganan juga, cuma tak pernah sepagi ini. Nah, betul kan, rejeki akan hampiri  yang sudah kerja sedari pagi. Perhatikan itu warung Padang!

Ini minggu. Ingat car free day Sudirman – Thamrin yang biasanya digelar di hari minggu. Jalan sepanjang pasar kebayoran lama minggu pagi  ini tumben bersih. Pedagang kaki lima semua mepet menepi atau masuk ke gang-gang dan jalan kecil. Entah kapan dibereskan sampah-sampah yang biasanya bergelimangan di sana sini.

Ada gusuran.

Sambil mengingat aksi gusur damai yang terakhir dari satpol pepe, kutanya pada ibu gado-gado
“pada mau digusur lagi Ibu?”
“iya tuh kayaknya. Ini biasa pake lontong? Pedas ga?” tangannya siap meraup cabe-cabe kecil.
“yak biasa. Sedeng aja.”
Disodorkannya bangku plastik biru.
“duduk, dek.”

Terima kasihku pake senyum.
Di sebelahku duduk orang yang lagi makan, peluh bercucuran. Antara kepedasan atau panas, atau panas kepedasan, entah. Karena itu aku tidak pernah suka makan di tempat, … panas.  Ada pengamen, masih pengamen yang sama sering terlihat. Pakaiannya rapi. Bapak-bapak. Dia punya hape lho. Lagu-lagu bawaannya sebangsa ‘sepanjang jalan kenangan’ begitu. Wiih, pas sebenarnya, jalanan pasar lagi ‘bebas’.

Bocah ngelem minta-minta, juga yang sama, seingatku. Di dekat rel, di peron stasiun, depan Indomaret, dekat warung sate kalau malam, dan di sini juga. Itu yang dia kerjakan, minta-minta logaman atau ribuan buat aibon. Sebentar lagi sibuk dia mengendus-endus lem. Itu kalau dapat. Kasihan dan bingung. Kog anak kecil ada yang sampai begini. Bingung, saat meminta dia bisa pasang muka sedih muram, lalu seketika kemudian sudah riang berkejaran dengan sebayanya. Dia sudah belajar berbohong kan? Demi uang.

Dan mereka ini, pengamen dan si bocah kumal juga kadang bersaing dengan panitia pembangunan mushola di mulut gang yang sejak hampir dua tahun lalu aku pindah ke sini belum juga rampung. Hari minggu nampaknya libur mereka. Mereka juga rajin. Setengah enam aku berangkat kerja, dua orang sudah stand by di situ. Yang satu pegang keranjang rajut.

Pernah kugelitik pikiran temanku. Fatir namanya. Kataku, ini kan cuma mushola, ga sebesar masjid dan Indonesia negara berpenduduk muslim terbanyak di dunia.  Jadi…, ini pada kemana semua orang, kog ga kelar-kelar bangunannya? Hahaha… 

Sejenak dia bingung, tapi akhirnya ngerti aku mau bilang apa. Bukan menuduh pada pelit sih, maksudku. Cara mencari dananya yang kurang efektif. Umat muslim kan mayoritas, sebetulnya mudah saja. Calon penyumbangnya banyak dan gampang ditemui. Lagipula siapapun bisa nyumbang kan?
Jemput bola. Jangan ditunggu, di pinggir jalan lagi. Ya, gitu. Lama.
Kapan gunting pita dan makan tumpengnya? Hahaha….

Jangan remehkan kaum jalanan ini, pengemis dan pengamen. Dulu, mungkin sekarang juga masih ada, kalau pagi panas belum menyengat, ada pengemis tua persis di depan BCA. Tiap kali ia meminta pada siapapun yang lalu lalang, aku perhatikan ia selalu hiaskan senyum. Tulus lho. Coba, siapa sih yang beri aku senyum pagi-pagi. Ini ada, boleh gratis pula. Tidak beri uang, lewati saja juga tak apa. Dan,.. padaku itu terjadi tiga atau empat kali, kalau kebetulan aku lalui bapak itu.

-Buku 100 Cara Jadi Bahagia Bagi Orang Sibuk (kubeli di TMbookstore) beri saran, tersenyumlah setiap pagi pada orang yang pertama kali kamu lihat di depan cermin. Aku sih jelas bukan orang sibuk, tapi tetap tak bisa juga itu, tersenyum dibiasa-biasakan. Tak biasa senyum, hihihi… -

… …

Panas. Weleh. Ke mana hujan tempo hari? Sok misterius musim ini. Pantjaroba. Alam bisa juga bimbang ternyata. Tapi seperti gini ajalah, kebanyakan hujan juga ntar banjir meleler gak keruan.

“mo adipura kali ya Bu.”  Pertanyaan lanjutanku. Aneh juga, bukan kebiasaannku memulai pembicaraan. Apalagi aku tak akrab betul. Ini malah nanya pula.

“mm,.. ga’ tuh. Yang terakhir tempo hari itu yang katanya karena ada adipura. Eh, tapi ga tau juga ibu, hehe..”

“kesian juga bentar-bentar  digusurin, tapi ‘ntar pada balik lagi. Trus, ‘napa juga digusur ya. Yang gak-gak aja”  sambil kulihat gula-gula merah remuk ditumbuk dan disiram si ibu. Asam pedas cabenya sudah terasa menjalari pinggir geraham.

“ya, gitulah dek. Kalo buat bela-belain dapet adipura, ngapain juga, lha kalo dapet yang dipuji, yang dapet nama ya sono (walikota Jaksel beserta jajarannya mungkin). Dapet duit juga kali. Kita mah kebagian apa? Susahnya aja dek.” Ibu ini sedikit ajukan protes.

“he-eh, tapi ‘kan ibu di sini ga kena. Memang tempatnya (ibu) dagang kan ya.”

“ya, gitu. Tapi ibu kena bulanan lebih gede daripada yang di pinggir-pinggir itu. Tapi ya syukur juga ibu, kalo mereka ya udah harus siap diusirin kapan aja, kesian”. Dia menunjuk dengan wajanhya ditarik ke arah jalan. Berpaling ke sana. Ya, kasihan sih. Ada penjual jeruk yang jeruknya  berjatuhan menggelinding. Repot dia bereskan dagangannya.

Jujur, memang kalau jalanan di pasar itu rapi, bersih dan tidak crowded dagangan sana sini, lebih enak. Pejalan kaki kanjuga punya hak. Tapi ya, sehari-hari wara-wiri di sana tidak masalah juga. Sudah begitu adanya. Hanya saja aku pernah kesal kesandung papan alas dagangan mereka. Sampai biru jempol kakiku padahal pakai sepatu.

Ternyata memang bukan dalam rangka rebutan penghargaan adipura.  Ketika hendak pergi jalan, aku sempat lihat ada dua bis besar sedang parkir. Keseharian di situ bertaburan bak kebun buah, pisang, apel, mangga, jambu biji, jeruk, dan pepaya. Sekarang buat parkiran. Press Tour, tulisan di spanduk yang diikat di sisi bis. Memperingati ke 66 hari listrik nasional. Untuk acara itu barangkali.

Dengar punya dengar, para pedagang kaki lima kebayoran lama memang pernah secara gabungan minta tempat berjualan yang lebih baik dan resmi kepada Pasar Jaya. Mudah dipahami, mereka pasti sudah jemu digusur-gusur cuma untuk kembali lagi ke tempat yang sama atau tempat lain. Jadi kayak bebek digiring-giring, ujung-ujungnya toh pulang berdesakan pantat di satu kandang lagi.

Tapi ya, susah itu. Respon pemerintah mungkin memang lamban, satu hal. Mencari tempat buat pedagang yang makin banyak, itu hal lain. Sudah susah. Mau di mana. Harus buka lahan lagi dan ini Jakarta. Mungkin nanti judul kegiatannya ‘penggusuran untuk menyediakan tempat bagi yang sudah tergusur sebelumnya’.

Kalau mau lihat lebih besar lagi, ini sebenarnya masalah urbanisasi. Bukannya sok berteori, sekedar common sense. Urbanisasi, orang di desa menuju kota besar buat cari makan, mengingat kebanyakan para pedagang kaki lima kebayoran lama itu Jawa dari luar Jakarta.  Terasa sebetulnya, pasar itu kian hari kian padat. Sudah susah dilewati dengan bergegas. Siang malam tanpa berhenti.  Panen tuh yang nagih bulanan (bulanan atau mingguan sih?)

Salah pemerintah juga kan, beras melulu diimpor, nekan harga beras petani sini jadi jatuh. Apa masih sekarang ya? Belum lagi nanti paceklik - kena kekeringan, tikus, beli pupuk mahal, sementara panenan kurang dihargai tinggi.
Sengsara jadi petani.

Kalau dulu dikisahkan petani bersahaja; ga kaya, tapi hidupnya cukup dari bertani. Caping di kepala atau di punggung, cangkul di pundak, pake’ kaos oblong, celana pendek hitam, pagi pergi ke sawah. Trus nyangkul sana-sini. Mungkin sambilsumringah membayangkan kuning kemuning padi siap panen enam bulan lagi. Lalu tengah hari, sang istri datang bawakan rantang makan siang (ono tempenya ), minumnya pake’ kendi, berdua menyempatkan mesra di tengah dangau (bukanseks after lunch tapi). Dan menjelang sore pulanglah si petani ke rumah.

Ahaii…. idealisme klasik.
Idealisme era ‘ini ibu Budi, ini bapak Budi’, jamannya aku masih belajar nulis dan buku atau bacaan apapun itu membosankan, kecuali Bobo dan Donald Bebek. Indonesia ini dasarnya agraris, padat nilai kedesaan.
Indonesia agraris sulit bisa berkembang  sejauh sedikit ada yang bertahan. Industri 100 persen ada eksesretrogresifnya. Kemunduran daya dukung lingkungan hidup salah satunya. Kalau Industri Agraris, jalan tengah mungkin? Urbanisasi sangat perlu ditekan.

Hihihi…  aku kan juga termasuk di dalamnya.

…. …. ….

Ketika pulang, seperti dugaanku, pasar Kebayoran Lama itu sudah kembali seperti semula. Pedagang penuh sesak. Sudah tidak lagi menepi di gang-gang dan jalan kecil. Tidak tahu sudah sampai pasar mana lagi itu Press Tour. 


Kb.Lama
16.10.11

No comments:

Post a Comment