Monday 3 August 2015

Poligami

Sambil bersihkan AC kantor, teknisi AC, pak Daud namanya, sibuk berdebat dengan rekan sekantor menyoal boleh tidaknya berpoligami. Gak tau awalnya mereka berdua ini perbincangkan apa sampai berujung di poligami. Aku turun sebentar beli air mineral, naik ke atas tiba-tiba sudah begitu. Aku, gak ditanya, ya diam saja. Tapi aku dengarkan sambil kerja. Asyik mereka berdua.  
Pak Daud, yang ternyata juga asal Palembang, setuju poligami. Yang tidak, teman di sebelahku.
Ketentuan hukum agama akhirnya dibawa-bawa juga. Boleh itu berpoligami, tegas Pak Daud.

Hihihi…
Poligami. Poligini lebih tepatnya, untuk seorang suami banyak istri.
Pernah dengar epik Mahabharata? Ada seorang Dewa menurut mitologi India punya lebih dari 16 ribu istri. Bukan orang India sih, dan aku gak percaya ada dewa dewi. Jadi mitologinya pasti cuma cerita saja. Yah, dia Dewa, secara bisa lakukan apa saja. Kalaupun ada,  pasti ribet sekali ya ngatur jadwal ‘asyik-asyiknya’. Setahun kan cuma 365 hari. hihihi….

Soal hukum agama, aku gak begitu paham boleh tidaknya. Yang aku anut kebetulan melarang poligami bentuk apapun. Di luar keyakinan imanen, aku sendiri gak setuju apapun alasannya. Sekedar common sense saja. Akar masalahnya.

Dari dulu aku bingung. Aneh kalau masyarakat melarang keras perzinahan atau prostitusi tapi di sisi lain melenturkan larangan poligami. Kalau kita sepakat definitif bahwa dalam setiap pernikahan ada hubungan seksnya, bukankah secara hakikat biologis, prostitusi dan poligami sama saja. Ada kegiatan 'berhubungan seks' oleh pria dengan wanita lain sementara istri pertama masih hidup. Sama saja kan? Kesannya, menurutku, agak ‘hewani’. 

Dan aku juga bingung dengan alasan supaya tidak berzinah, ketagihan seks bebas, selingkuh, lebih baik poligami. Ada yang bilang begitu. Masalah (si pria) mungkin selesai tapi gak sampai ke akarnya kan? Akar masalahnya moral ahklak si pria. Keteguhannya menahan hawa nafsu, mendidik diri. Desain aturannya harus berupa larangan, bukan pelenturan.

Ada alasan yang lebih baik. Poligami bisa dilakukan untuk menolong nafkahi janda (kalau dulu dalam sejarahnya janda-janda yang suaminya tewas dalam peperangan – ekspansi agama), dan agar anak-anaknya tidak terlantar. Ini sebetulnya agak konteks. Kata guruku waktu SMA, pak Marcel namanya, yah kalau memang tulus mau membantu, kan gak perlu sampai dinikahi segala. Santuni saja anaknya, topang pendidikannya, bantu membimbing. Jadi orangtua angkat.

Ada benarnya sih. Tulus.

Kita menikah karena cinta. Cinta yang kepenuhannya tercapai dalam pernikahan. Dan cinta itu urusan hati. Cuma manusia yang punya. Cinta penuh. Tak terbagi.

Jadi, ini yang kubayangkan. Urusan hati.

Seandainya aku punya istri dan minta ijin berpoligini, dan dengan senyum dia mengijinkan, kalau itu bisa membuat aku lebih bahagia, dia bilang, endingnya yah, malah aku ga jadi berpoli-ria. Coba, ada istri bilang begitu, terbayang betapa tulus dan dalam cintanya, demi aku bahagia, dia bersedia diduakan. Apa bisa dibilang aku masih punya hati kalau memanfaatkan ketulusannya?

Bukan aku sok jadi lelaki setia berhati putih, sih, hihihihi…. Aku kan belum nikah. Cuma, setidaknya setiap pria yang mau berpoligini atas ijin istrinya pikirkan ini. Ketulusan cinta istrinya.
Benar tidak sih?


Kb.Lama
14.03.10

No comments:

Post a Comment